DPR Terima Masukan Pakar Terkait RUU Pertanahan
Komisi II DPR menerima masukan serta pandangan dari beberapa pakar dalam rangka penyusunan naskah akademik serta Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan di Gedung DPR, Jakarta, (13/3).
Beberapa pakar yang dimintai masukannya diantaranya Prof. Dr. maria S.W. Sumardjono, Prof. Dr. Nurhasan Ismali, dan Dr. Kurnia Warman.
Menurut Maria S.W. Sumardjono, UUPA dimaksudkan untuk berlaku sebagai lex generalis bagi pengaturan lebih lanjut pada obyek materiil bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
“RUU Pertanahan tidak mengutak-atik UUPA melainkan mengatur garis besarnya saja, RUU Pertanahan menyempurnakan UUPA, seperti melengkapi dan menjabarkan hal-hal yang belum diatur oleh UUPA, menegaskan berbagai penafsiran yang menyimpang dari falsafah dan prinsip dasar yang telah digariskan UUPA, dan UU pertanahan diharapkan mampu menjadi penghubung atau jembatan antara meminimalkan ketidaksinkronan atau tumpang tindih UU sektoral terkait bidang pertanahan,”jelas Maria.
Ia menambahkan, dalam Bab II tentang Asas, dimana asas-asas dalam UUPA ada 8, tetapi asas yang pilih ada 9. “Dalam pasal 2 UUPA ada pengertian dari UUPA, karena ini adalah UU Pertanahan maka tidak menyebut ‘bumi, air, kekayaan alam yang terkadung didalamnya’,”,terangnya.
Selanjutnya, menurut pandangan dari Nurhasan Ismail yang menyampaikan beberapa hal, diantaranya mengenai hubungan Negara dengan tanah bersumber dari hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah, “Hak bangsa ini sebagai hak tertinggi, Negara hanya menjalankan satu kewenangan dari hak bangsa, dan kewenangan ini didasarkan pada 5 kewenangan menurut MK,”jelas Nurhasan di hadapan rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja.
Ia menambahkan, Negara dalam 5 kewenangan yang didelegasikan oleh bangsa Indonesia tetap harus berada dalam bingkai kemakmuran rakyat.
Pandangan lain disampaikan oleh Kurnia Warman dalam hal landasan yuridis yang berkaitan dengan kedudukan RUU Pertanahan terhadap UU yang sudah ada, meminimkan tumpang tindih pengaturan pertanahan dan mewujudkan sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan pertanahan, peningkatan pengaturan pertanahan yang masih diatur dalam peraturan pemerintah maupun perundang-undangan yang berada dibawahnya menjadi UU, mengakomodir hal-hal yang belum diatur, dan kewenangan dalam pertanahan.(nt)